
Perjalanan ini, Allah sajikan agar hati ini senantiasa bersyukur. Iya, tak putus syukurnya setiap hari. Tak putus pula untuk beristighfar setiap saat. Sebab setiap kita adalah pendosa.
Ketika alam menyeru, memanggil nurani, menguji intuisi, menerka integritas. Ada kedatangan yang tampak lusuh. Kurus kering, tak berdaya. Memanfaatkan waktu untuk satu kebohongan hanya untuk mengisi sejengkal perut. Apa memang wataknya. Atau malah dianggap profesi, sebab dunia tak berpihak. Atau malah, kemalasan yang bersarang di tubuh rumah tangganya. Menyeru, seakan akan terpuruk. Dengan berbagai atribut yang disodorkan. Entah dimana mereka mendapatkan keaslian atribute itu. Menawarkan kemelasan. Seolah dunia yang menawarkan banyak kesulitan.
Adalagi kedatangan dengan gaya gaul. Fisik yang kuat. Memamerkan kegagahanya, mempertontonkan kesulitan tanpa arah yang jelas. Memaksa keibaan. Membuat terhenyak, ketika pengakuan yang keluar dari mulutnya adalah kehilangan arah tujuan, hingga kehabisan uang. Memaksa untuk mengiba, dan mendapatkan rupiah, sesuai dengan keinginannya. Padahal Kami adalah jundi di medan jihad. Tak elok, jika menuruti tanpa meneliti. Namun, begitulah perjuangan menjaga amanah. Allah pasti datang dan memberikan pertolongan-Nya dari banyak penjuru. Disisinya, ia memojokkan keyakinan Kami dengan keribetan. Seolah Islam bukan agama yang peduli. Dia pikir, mengolok olok, malah akan membuat Kami takut akan akidah yang sedang dipertahankannya. Hai, apa kabar? Siapa sebenarnya yang sedang mempermainkan agama ini?
Di lain frame adapula kedatangan yang tampak biasa. Namun dirinya menahan kerapuhan yang tak terhingga. Menahan tangis, agar terlihat wibawa. Leukemia yang habis menyerang tubuhnya. Menggerogoti sum sum tulangnya. Nyaris tak berdaya. Hilang arah, bagaimana caranya mengumpulkan pundi pundi rupiah untuk bertahan hidup.
“Ah sudahlah, jika hanya untuk sekedar makan, masih bisa dicari. Tapi untuk memperjuangkan pendidikan anak anak yang belia, Kami bingung harus mencari kemana. Sebab, tubuh kuat ini memiliki tulang yang rapuh. Hingga mudah patah. Kemo, hampir usai. Tinggal 2 kali lagi. Mohon maaf, karena ketidakmampuan ini, Kami memberanikan diri untuk mengajukan biaya ke lembaga ini”.
Wajah ini, benar menunjukkan keramahan. Bibir ini benar tersungging manis. Namun, hati ini tak tahan dihadapkan dengan banyak berita kepiluan. Setelah mereka beranjak satu persatu, air mata ini terjatuh. Tak terbayang, bagaimana sehari harinya mereka hidup.
Meski sebelumnya ada kadatangan yang menerangkan kebutuhannya untuk sebungkus nasi. Seorang Magister pendidikan yang berjuang ingin mengikuti rangkaian LPDP di universitas terkemuka untuk jenjang Doktor. Ia berjuang. Untuk mengangkat harkat martabatnya. Dari ceritanya, ia berasal dari keluarga yang mampu. Namun sayang, nasib malang menimpa keluarganya. Hingga ia, harus tertatih. Seperti aneh dan di luar nalar. Tapi siapa sangka, jika cerita cerita itu adalah benar. Sedang yang terlihat hidup biasa saja, berkebutuhan cukup, terkadang nyaris tak memiliki uang untuk makan. Hanya mungkin dia menjaga ijjahnya. Jika istri tidak memiliki selembar rupiah, sebenarnya tak masalah. Yang menjadi masalah, adalah jika seorang laki laki menyandang status sebagai seorang pemimpin keluarga, tak memiliki uang serupiah pun. Tak terbanyang pekat pikirnya. Sekuat tenaga, dikerahkan. Apapun yang bisa dilakukan untuk memastikan anak dan istrinya terjamin makanan yang cukup.
Begitulah sisi setiap perjuangan yang tak tampak oleh kasat mata. Sejatinya, yang paling mahal dari manusia adalah empati untuk melihat banyak sudut pandang. Namun yang tak kalah penting adalah, ketahanan jiwa untuk menembus semua kesulitan yang hadir. Manusia yang kuat, bukanlah manusia yang pandai bertarung dengan otot. Beraktobatik kata kata saat berdiskusi. Atau mengalahkan lawan bicara dan memperjuangkan keinginan pribadi.
Manusia yang kuat, adalah manusia yang bisa mengalahkan hawa nafsunya. Dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Semua Allah berikan dan terukur pas menurut ukuran-Nya. Lantas apakah masih punya alasan untuk berputus asa?
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يٰعِبَا دِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰۤى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar : 53)
Allah sebaik baik tempat kembali atas semua kesulitan yang Kita hadapi. Jangan sampai kita sering membicarakan-Nya. Namun kita lupa bicara setiap saat kepadaNya.
Malang, 26.7.24